Selasa, 06 September 2011

Cerpen Buat Ayah

Aku mulai menyesap kembali rokokku yang terakhir. Aku hampir menghabiskan dua pak rokok malam ini. Sungguh nikmat ketika menyesapnya dan menghembuskan kembali ke udara dalam bentuk bulatan-bulatan kecil. Ya, aku suka sekali melepaskan segala kepenatan yang melanda hari-hariku yang membosankan dengan menyesap rokok. Pikiranku kembali melayang seperti hari-hari sebelumnya mengikuti hempasan rokok dan ambyar ketika bulatan kecil itu menjadi hilang.

Kupandangi anak-anakku satu-persatu yang sudah mulai tumbuh menjadi dewasa. Yang pertama sudah hampir menyelesaikan SMA-nya dan sebentar lagi akan melanjutkan entah kemana. Namun, dia sendiri bingung apalagi aku seorang yang sudah tua. Sebenarnya, ingin sekali aku bisa membantunya memilih pendidikan apa yang pas untuk menyambung hidupnya kelak. Tapi, apakah yang terbaik menurutku apakah yang terbaik buatnya kelak.

Yang kedua sekaligus yang terakhir baru duduk kelas dua SMP. Tingkah lakunya terkadang benar-benar membuatku marah. Hampir selalu ada tingkahnya membuatku jengkel. Ingat betul aku akan kejadian itu, ketika dia terlibat tawuran antar sekolah yang mengakibatkan salah seorang temannya harus merasakan empat belas jahitan di lengannya. Beruntung sekali anakku tak mengalami cidera apapun. Namun, justru tingkahnya itulah yang membuatku harus menjadi seorang ayah yang lebih bertanggung jawab.

Tak terasa hidup sangat singkat. Perjalanan sang waktu tak pernah dan tak akan pernah berhenti. Apalagi membuatnya menjadi mundur. Air mataku mulai menetes teringat satu-persatu kenangan dalam hidupku. Aku merasa baru saja aku melamar seorang wanita desa dan menjadikannya isteriku. Wanita yang sangat halus dan peka perasaannya. Wanita cantik yang akan menjadi ibu dari anak-anakku kelak. Baru saja aku memperoleh buah hati kami. Buah hati yang sangat kami impikan setelah bertahun-tahun aku menahkodai bahtera rumah tanggaku. Baru saja aku berusaha menata hidup kami menjadi lebih baik. Namun, kini usia telah memakanku. Aku sudah tidak seperti dulu lagi. Yang masih terus bersemangat menjalanai hidup. Dimana otot-ototku masih kekar yang mampu untuk melakukan segala aktivitas apapun. Kini, Umurku pun sudah kepala empat dan tahun depan sudah kepala lima.

Kusesap kembali rokokku ini. Air mataku masih saja terus menetes. Kali ini kubiarkan pikiranku kembali pada kejadian beberapa minggu yang lalu. Aku tak bisa meminta uangku kembali. Aku baru saja ditipu oleh seorang tetangga sekaligus teman ngobrolku di kala malam. Agus. Ya, Agus benar-benar teman yang biadab. Tega-teganya dengan alasan bisnis dan kerjasama bersama dia menipuku. Uang sepuluh juta milik isteriku ludes, tak kembali. Uang itu sebenarnya hasil pinjam dari bank untuk melunasi hutang kami pada adik isteriku.

Aku memang senang sekali menjadi makelar tanah. Kami memang sering melakukan bisnis berjualan tanah dengan adiknya itu. Modal darinya dan tugasku adalah mencarikan pembeli untuknya. Entah kenapa tanah itu tak juga terjual. Biasanya paling lama aku mampu menjual tanah hanya sekitar enam bulan. Namun, untuk kali ini sudah dua tahun ini belum laku juga. Dengan terpaksa kami pinjam dari bank, menjual barang kami yang kiranya mampu untuk mengembalikan uang adiknya itu. Karena itu pulalah hubungan kekerabatan kami menjadi renggang. Berkelahi lewat telepon dengan adiknya. Dan yang paling parah, isteriku sering menangis tengah malam. Aku tak mengerti dengan cara apa aku harus mempersatukan kakak-beradik itu.

Agus. Kau benar-benar telah menghancurkan keluargaku. Ya, karena alasan teman mau-maunya aku dibohongi olehmu. Kau benar-benar paham karakterku. Kau memanfaatkannya. Kau tahu aku orang yang mudah percaya dan gampang trenyuh apalagi dengan teman sendiri. Kerjasama apa? Semuanya gombal. Bulsyiiit. Ya, aku tahu bodohnya diri ini mau-maunya tanpa ada surat perjanjian yang syah dan jelas untuk kerja sama ini. Jelas tak mungkin bagiku, untuk membawa perkara ini ke pengadilan. Aku pasti bakal kalah. Tak ada bukti yang dapat membelaku.

Hatiku benar-benar hancur. Waktu itu niatku ingin memberi kejutan kepada isteriku. Ingin rasanya memberikan kado spesial padanya ketika ulang tahun pernikahan kami. Namun, segalanya telah sirna kini. Apalagi keluarga Agus ikut menutupi keberadaanya. Mereka sering berdalih Agus tidak ada di rumah, sedang tugas keluar kota atau apalah. Tuhan, aku tahu dia sedang bersembunyi di dalam kamar di rumah barunya itu. Tuhan, mereka sedang bersembunyi dariku.

Mataku semakin sembab kini. Kuhapus air mataku. Tuhan, tolong aku. Persoalan ekonomi ini benar-benar menyesakkanku. Uangku telah kabur entah kemana, kabur bersama Agus. Dia kabur untuk menghindariku. Kabur akan tanggung jawabnya mengembalikan semua uangku. Mungkin jika Agus tak mau mengembalikan uang itu padaku di dunia ini, aku berharap dia akan menanggung hutangnya di akhirat nanti untuk mempermudah jalanku ketika dihisab kelak. Setiap asap yang kutiupkan ke udara kembali mengingatkanku pada persoalan-persoalan yang sedang kuhadapi. Pelik bagiku, bagi keluargaku. Maafkan aku, isteriku. Maafkan aku anak-anakku. Aku bukanlah seorang suami dan ayah yang baik.

Air mataku berakhir ketika anakku memintaku untuk mengajarinya matematika. Aku tersentak sadar dari khayalanku. Namun, kuteruskan sedikit harapanku kali ini. Aku hanya mampu berharap semoga persoalan ekonomi ini mampu terselesaikan. Dan aku mampu merukunkan dua kakak beradik itu seperti sediakala. Aku juga berharap mempunyai sedikit uang untuk menyekolahkan kalian hingga menjadi orang yang dapat membahagiakan kami selaku orang tua kalian. Aku sayang kalian. Isteriku dan anak-anaku tercinta. Doakan aku memperoleh rejeki yang halal besok pagi buat menyambung hidup kita menjadi lebih baik.

Dengan semangat aku mengajarinya matematika yang lumayan sulit sebenarnya bagiku untuk menjelaskan kepadanya. Aritmatika. Namun, aku menyerah. Aku memanggil anak pertamaku untuk membantu adiknya mengerjakan dua puluh nomor pekerjaan rumahnya itu.

Telepon rumah berdering. Aku diberi tahu oleh temanku yang kebetulan yang mengerti tentang persoalan penipuan ini sekaligus anggota polres. Aku tahu bahwa ternyata agus tak hanya menipuku. Dia juga menipu banyak orang. Aku juga tahu bahwa dia akan menerima hukuman sepuluh tahun penjara atas segala perbuatan yang dilakukannya.

Ada sedikit gurat kegembiraan dalam wajahku. Ya, aku senang dia di hukum. Walau aku tahu dia dulunya adalah teman ngobrolku di kala malam. Teman yang bermuka dua. Yang kini, telah menjadi orang termunafik yang pernah aku temui dalam hidupku ini. Maaf, mungkin kejam bagimu tapi kau dulu yang memulainya. Memulai menipuku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar