Gaun
panjang nanelegan dengan dominasi warna hijau lemon yang dikenakan saat turun
dari bandara Sungshan Taipe, Taiwan, Rabu 16 Mei 2012, tak serta-merta mengubah
sosok unik dan nyentrik Lady Gaga di tengah santernya pemberitaan bakal
konsernya di Indonesia.
Eskalasi
wacana kedatangannya awal Juni ini yang semula menjadi trending topik
pemberitaan sebulan terakhir kini tinggal menyisakan kekecewaan bagi penggemar
dan promotor karena batalnya konser tersebut. Para Little Monster-sebutan untuk penggemar Gaga yang sudah jauh-jauh
hari memesan tiket kini harus berdesak-desakan lagi mengembalikan tiket/refund ke penyelenggara. Promotor
pastinya menjadi pihak yang paling dirugikan secara finansial karena batalnya
konser. Namun, apakah kerugian finansial tersebut akan sebanding dengan
keuntungan secara sosial-kebudayaan masyarakat kita? Tentu ini pilihan yang
sulit, jika harus mengorbankan generasi muda kini yang telah teracuni dan
terombang-ambingkan oleh penjajahan psikis yang disebut hedonisme.
Agak
disayangkan memang dari 120 artis internasional yang datang ke Indonesia, baru
konser Gagalah yang dicibir dan terganjal masalah perizinan. Konstelasi
pro-kontra penyanyi yang selalu tampil maksimal di setiap aksi panggungnya ini
justru diduga menjadi indikasi utama penyebab tidak diturunkan izin konsernya. Paling
tidak penyelenggara harus mengantongi izin dari lima pihak yakni Imigrasi,
Kementrian Tenaga Kerja, venue, Polri,
dan Polda/Polres tempat venue. Wajar memang jika konser tersebut gagal karena Polri
sebagai pemilik otoritas keamanan di negeri ini tidak ingin sampai kecolongan.
Pasalnya Polri juga harus memperhitungkan betul eskalasi tekanan publik yang
kontra khususnya dari beberapa ormas yang sedari awal wacana ini bergulir sudah
mengecam keras lewat pemberitaan media.
Dikotomi Barat dan Timur
Lady
Gaga adalah salah satu penyanyi yang dianggap paling kontroversial sepanjang
tahun 2012 seperti yang dilansir dalam LiputanBerita VoA – Kontroversi Lady Gaga terbitan 18 Mei 2012. Bagaimana tidak? Penyanyi
dengan nama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta ini dianggap sebagai cerminan
dan representasi budaya barat. Dikotomi barat dan timur sampai kapanpun memang
tidak pernah ada ujungnya ketika dikaitkan dengan adat dan kebiasaan. Datangnya
the Mother Monster ini diduga akan
merusak tatanan dan adab masyarakat masyarakat timur khususnya Indonesia. Aksi
panggung dan lirik lagunya juga dianggap menodai nilai-nilai ketimuran. Jualan
seni dalam aksinya lebih mempertontonkan kevulgaran daripada nilai seni yang
universal. Bukan hanya perbedaan latar budaya, gaya hidup barat juga menjadi
pemicu yang mencolok penyanyi kelahiran New York 26 tahun yang lalu ini dicaci.
Lalu, bagaimana sebenarnya gaya hidup orang barat sebenarnya?
Setidaknya
ada tiga hal yang paling mendasar dikotomi itu dibangun. Pertama adalah cara
berpakaian. Masyarakat barat lebih memiliki kebebasan yang ‘luar biasa’ dalam
mengekspresikan diri daripada masyarakat timur yang cenderung konservatif
mempertahankan warisan budaya lokal yang sampai sekarang justru dianggap
sebagai kekayaan budaya. Indonesia misalnya populer dengan baju kebaya, Jepang
dengan Kimono, Korea dengan Hanbok, China dengan Cheongsam. Masing-masing
memiliki kekuatan ciri dan corak yang diharmonikan dengan kearifan lokal
setempat. Baju-baju tradisional itu pun memiliki kesamaan yakni atasan dengan
lengan panjang dan model rok yang menutup hingga mata kaki. Pastinya model
tersebut juga sangat berterima dengan tuntunan agama dan sistem religi
setempat. Di Indonesia misalnya yang dominan adalah pemeluk ajaran Islam,
mereka mengenal suatu batasan yang dinamakan aurat. Aurat menurut ajaran Islam
adalah bagian badan yang tidak boleh diperlihatkan. Baju-baju tersebut tentunya
secara sengaja diciptakan untuk menutupi bagian tubuh yang semestinya tidak
ditampilkan. Berbeda dengan ragam mode pakaian barat yang dominan
memperlihatkan bagian yang semestinya tidak diperlihatkan di depan umum. Hal
ini tercermin dari pakaian yang dikenakan oleh pelantun hits lagu Just Dance ini. Baik di keseharian maupun penampilan di atas
panggung Gaga berani tampil dengan pakaian yang serba minim, meskipun
menurutnya itu dilakukan bukan tanpa sebab.
Semua
perform dan dandanan yang unik selalu memiliki makna penting yang ingin dia
sampaikan kepada masyarakat. Salah satu aksi panggungnya yang cukup membuat
heboh pemberitaan kala itu adalah ketika tampil di ajang MTV Video Musik Award
2009. Secara khusus dia menyanyikan tembang “Paparazzi” dengan balutan pakaian
minim serba putih dan wig pirang. Aksi panggungnya seolah menggambarkan
teatrikal ‘berdarah’ meninggalnya Lady Diana akibat ulah paparazzi. Bukan Lady
Gaga jika di keseharian hidup tidak menyuguhkan gaya uniknya. Gaga pernah memamerkan
topi berbentuk lobster keperak-perakan pada sebuah jamuan makan malam di
Restoran Chow London. Seolah mata publik dibuat menunggu kehebohan-kehebohan
yang dibuatnya. Namun salah satu kehebohan yang benar-benar menampar muka
masyarakat dunia adalah adegan di salah satu videonya yang berjudul Marry the Night. Gaga berani
menanggalkan pakaiannya untuk mengekspresikan isi lagu tersebut. Tentu saja, kontroversi
ini bagi masyarakat timur dianggap menohok gaya berbusana masyarakat timur yang
menganggap tabu hal demikian. Apa jadinya jika style yang seperti itu menjadi berterima hanya karena ‘cinta buta’ jutaan
penggemarnya dan menjadi pembiasaan yang masif. Ujungnya akan terjadi degradasi
dan pembalikan budaya. Sungguh tidak bisa dibayangkan.
Perbedaan
mendasar yang kedua terlihat dari interaksi sosial-kemasyarakatan. Bukanlah hal
yang tabu, apabila dunia barat dekat dengan seks bebas. Seks bebas di sebagian
kalangan menjadi simbol mengekspresikan rasa cinta. Parahnya, legitimasi seks
bebas tercermin kuat dalam kebanyakan tayangan yang mereka produksi. Ciuman,
tinggal dalam satu rumah, hingga hubungan badan menjadi bagian yang selalu ada
dalam sebuah film trademark barat. Dampak
dikotomi ini mengarah pada culture shock,
karena adat masyarakat timur hanya mengenal interaksi yang seperti itu dalam ikatan
pernikahan yang sah. Pastinya interaksi yang demikian jika dilakukan di luar
pernikahan tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai dan norma agama. Wajar
saja masyarakat Asia beramai-ramai mengecam dan mengutuk isi video klip Gaga
yang vulgar mengumbar sensualitas dan erotisme. Salah satu video yang ramai
diperbincangkan yakni Alejandro
garapan Steven Klein karena menampilkan hubungan intim pria dan wanita. Tidak
itu saja, dalam syair berjudul Born This
Way justru menjustifikasi dirinya mendukung kaum homoseks. Simak saja lirik
No matter gay, straight, or bi, lesbian,
transgendered life, I’m on the right track baby, I was born to survive.
Gaga memilih kata-kata yang blak-blakan untuk menggambarkan bahwa homoseksual
adalah benar dan manusiawi.
Perbedaan
mendasar yang terakhir yakni tentang pandangan terhadap agama. Bangsa timur adalah
bangsa yang sangat teguh dalam hal pengakuan terhadap Tuhan dan menjunjung
tinggi keyakinan yang dianutnya. Sebagian besar masyarakat Asia bahkan menjadi
representasi kekuatan atau basis agama tertentu. Misalnya Cina, Korea, dan
Thailand merupakan pemeluk agama Budha yang taat, mayoritas masyarakat
Singapore dan Filipina beragama Kristen, sedangkan Malaysia, Indonesia, dan
Brunei menganut agama Islam. Agama bagi bangsa timur lebih direpresentasikan
sebagai pegangan dan panutan hidup. Perintah dan larangan menurut agama menjadi
jihad (usaha yang luar biasa) bagi
pemeluknya. Lain halnya masyarakat barat yang menurut pandangan konservatif menganggap
agama sebagai sebuah kebudayaan kuno yang diajarkan dan diwariskan dari
generasi ke generasi. Pandangan ini yang membuat sebagian bangsa barat tak
beragama. Akibatnya, bukan lagi menganggap agama sebagai hal yang penting
tetapi lebih dari itu menjurus pada penghinaan atau pelecehan terhadap agama
tertentu. Hal itu secara nyata dilakukan oleh Gaga dalam Judas yang membuat geram banyak negara terutama di Asia. And Judas is the demon I cling to, I cling
to...But I’m still in love with Judas, baby. Tentu saja, lirik tersebut
membuat umat Kristen marah. Belum lagi lagu Bad
Romance yang dinilai melahirkan ajaran sesat karena liriknya dianggap mengandung
konspirasi agama yang melibatkan setan. Belum lagi Alejandro yang membuat gerah karena syairnya melukiskan sosok
Alejandro sebagai Tuhan dan Fernando sebagai Jesus yang membela dan melindungi
manusia.
Jika
melihat keadaan bangsa kita saat ini, alangkah baiknya jika kita lebih kritis
dengan wacana tersebut. Sebuah putusan bijak apabila hal-hal yang bisa memicu degradasi
moral dan budaya permisif dihilangkan termasuk konser Gaga. Pembatalan konser
Gaga mungkin saja menyisakan kerugian dan penyesalan namun itu lebih baik
daripada meraup keuntungan instan tetapi menuai kerugian jangka panjang di
tengah gencarnya pemerintah menggalakkan pendidikan karakter bagi generasi
muda. So, should Gaga plan to come to
Indonesia again?
(Widya Kusu dan Rangga Asmara)
Sumber:
I don't think the reasons you pulled up are totally correct... you should open the site or sources about the original Balinese culture of clothing, especially how the ladies wear the clothe...
BalasHapuseroticism behind the arts.
BalasHapusit's growing and good process. i think your writing is improving, just add with more facts and evidence, it wouldbe a complete dish :) - like meal
BalasHapus