Rabu, 30 Mei 2012

GAGA(LNYA) REPRESENTASI BUDAYA BARAT



Gaun panjang nanelegan dengan dominasi warna hijau lemon yang dikenakan saat turun dari bandara Sungshan Taipe, Taiwan, Rabu 16 Mei 2012, tak serta-merta mengubah sosok unik dan nyentrik Lady Gaga di tengah santernya pemberitaan bakal konsernya di Indonesia.

Eskalasi wacana kedatangannya awal Juni ini yang semula menjadi trending topik pemberitaan sebulan terakhir kini tinggal menyisakan kekecewaan bagi penggemar dan promotor karena batalnya konser tersebut. Para Little Monster-sebutan untuk penggemar Gaga yang sudah jauh-jauh hari memesan tiket kini harus berdesak-desakan lagi mengembalikan tiket/refund ke penyelenggara. Promotor pastinya menjadi pihak yang paling dirugikan secara finansial karena batalnya konser. Namun, apakah kerugian finansial tersebut akan sebanding dengan keuntungan secara sosial-kebudayaan masyarakat kita? Tentu ini pilihan yang sulit, jika harus mengorbankan generasi muda kini yang telah teracuni dan terombang-ambingkan oleh penjajahan psikis yang disebut hedonisme.

Agak disayangkan memang dari 120 artis internasional yang datang ke Indonesia, baru konser Gagalah yang dicibir dan terganjal masalah perizinan. Konstelasi pro-kontra penyanyi yang selalu tampil maksimal di setiap aksi panggungnya ini justru diduga menjadi indikasi utama penyebab tidak diturunkan izin konsernya. Paling tidak penyelenggara harus mengantongi izin dari lima pihak yakni Imigrasi, Kementrian Tenaga Kerja, venue, Polri, dan Polda/Polres tempat venue. Wajar memang jika konser tersebut gagal karena Polri sebagai pemilik otoritas keamanan di negeri ini tidak ingin sampai kecolongan. Pasalnya Polri juga harus memperhitungkan betul eskalasi tekanan publik yang kontra khususnya dari beberapa ormas yang sedari awal wacana ini bergulir sudah mengecam keras lewat pemberitaan media.

Dikotomi Barat dan Timur
Lady Gaga adalah salah satu penyanyi yang dianggap paling kontroversial sepanjang tahun 2012 seperti yang dilansir dalam LiputanBerita VoA – Kontroversi Lady Gaga terbitan 18 Mei 2012. Bagaimana tidak? Penyanyi dengan nama asli Stefani Joanne Angelina Germanotta ini dianggap sebagai cerminan dan representasi budaya barat. Dikotomi barat dan timur sampai kapanpun memang tidak pernah ada ujungnya ketika dikaitkan dengan adat dan kebiasaan. Datangnya the Mother Monster ini diduga akan merusak tatanan dan adab masyarakat masyarakat timur khususnya Indonesia. Aksi panggung dan lirik lagunya juga dianggap menodai nilai-nilai ketimuran. Jualan seni dalam aksinya lebih mempertontonkan kevulgaran daripada nilai seni yang universal. Bukan hanya perbedaan latar budaya, gaya hidup barat juga menjadi pemicu yang mencolok penyanyi kelahiran New York 26 tahun yang lalu ini dicaci. Lalu, bagaimana sebenarnya gaya hidup orang barat sebenarnya?

Setidaknya ada tiga hal yang paling mendasar dikotomi itu dibangun. Pertama adalah cara berpakaian. Masyarakat barat lebih memiliki kebebasan yang ‘luar biasa’ dalam mengekspresikan diri daripada masyarakat timur yang cenderung konservatif mempertahankan warisan budaya lokal yang sampai sekarang justru dianggap sebagai kekayaan budaya. Indonesia misalnya populer dengan baju kebaya, Jepang dengan Kimono, Korea dengan Hanbok, China dengan Cheongsam. Masing-masing memiliki kekuatan ciri dan corak yang diharmonikan dengan kearifan lokal setempat. Baju-baju tradisional itu pun memiliki kesamaan yakni atasan dengan lengan panjang dan model rok yang menutup hingga mata kaki. Pastinya model tersebut juga sangat berterima dengan tuntunan agama dan sistem religi setempat. Di Indonesia misalnya yang dominan adalah pemeluk ajaran Islam, mereka mengenal suatu batasan yang dinamakan aurat. Aurat menurut ajaran Islam adalah bagian badan yang tidak boleh diperlihatkan. Baju-baju tersebut tentunya secara sengaja diciptakan untuk menutupi bagian tubuh yang semestinya tidak ditampilkan. Berbeda dengan ragam mode pakaian barat yang dominan memperlihatkan bagian yang semestinya tidak diperlihatkan di depan umum. Hal ini tercermin dari pakaian yang dikenakan oleh pelantun hits lagu Just Dance ini. Baik di keseharian maupun penampilan di atas panggung Gaga berani tampil dengan pakaian yang serba minim, meskipun menurutnya itu dilakukan bukan tanpa sebab.

Semua perform dan dandanan yang unik selalu memiliki makna penting yang ingin dia sampaikan kepada masyarakat. Salah satu aksi panggungnya yang cukup membuat heboh pemberitaan kala itu adalah ketika tampil di ajang MTV Video Musik Award 2009. Secara khusus dia menyanyikan tembang “Paparazzi” dengan balutan pakaian minim serba putih dan wig pirang. Aksi panggungnya seolah menggambarkan teatrikal ‘berdarah’ meninggalnya Lady Diana akibat ulah paparazzi. Bukan Lady Gaga jika di keseharian hidup tidak menyuguhkan gaya uniknya. Gaga pernah memamerkan topi berbentuk lobster keperak-perakan pada sebuah jamuan makan malam di Restoran Chow London. Seolah mata publik dibuat menunggu kehebohan-kehebohan yang dibuatnya. Namun salah satu kehebohan yang benar-benar menampar muka masyarakat dunia adalah adegan di salah satu videonya yang berjudul Marry the Night. Gaga berani menanggalkan pakaiannya untuk mengekspresikan isi lagu tersebut. Tentu saja, kontroversi ini bagi masyarakat timur dianggap menohok gaya berbusana masyarakat timur yang menganggap tabu hal demikian. Apa jadinya jika style yang seperti itu menjadi berterima hanya karena ‘cinta buta’ jutaan penggemarnya dan menjadi pembiasaan yang masif. Ujungnya akan terjadi degradasi dan pembalikan budaya. Sungguh tidak bisa dibayangkan.

Perbedaan mendasar yang kedua terlihat dari interaksi sosial-kemasyarakatan. Bukanlah hal yang tabu, apabila dunia barat dekat dengan seks bebas. Seks bebas di sebagian kalangan menjadi simbol mengekspresikan rasa cinta. Parahnya, legitimasi seks bebas tercermin kuat dalam kebanyakan tayangan yang mereka produksi. Ciuman, tinggal dalam satu rumah, hingga hubungan badan menjadi bagian yang selalu ada dalam sebuah film trademark barat. Dampak dikotomi ini mengarah pada culture shock, karena adat masyarakat timur hanya mengenal interaksi yang seperti itu dalam ikatan pernikahan yang sah. Pastinya interaksi yang demikian jika dilakukan di luar pernikahan tentu saja bertentangan dengan nilai-nilai dan norma agama. Wajar saja masyarakat Asia beramai-ramai mengecam dan mengutuk isi video klip Gaga yang vulgar mengumbar sensualitas dan erotisme. Salah satu video yang ramai diperbincangkan yakni Alejandro garapan Steven Klein karena menampilkan hubungan intim pria dan wanita. Tidak itu saja, dalam syair berjudul Born This Way justru menjustifikasi dirinya mendukung kaum homoseks. Simak saja lirik No matter gay, straight, or bi, lesbian, transgendered life, I’m on the right track baby, I was born to survive. Gaga memilih kata-kata yang blak-blakan untuk menggambarkan bahwa homoseksual adalah benar dan manusiawi.

Perbedaan mendasar yang terakhir yakni tentang pandangan terhadap agama. Bangsa timur adalah bangsa yang sangat teguh dalam hal pengakuan terhadap Tuhan dan menjunjung tinggi keyakinan yang dianutnya. Sebagian besar masyarakat Asia bahkan menjadi representasi kekuatan atau basis agama tertentu. Misalnya Cina, Korea, dan Thailand merupakan pemeluk agama Budha yang taat, mayoritas masyarakat Singapore dan Filipina beragama Kristen, sedangkan Malaysia, Indonesia, dan Brunei menganut agama Islam. Agama bagi bangsa timur lebih direpresentasikan sebagai pegangan dan panutan hidup. Perintah dan larangan menurut agama menjadi jihad (usaha yang luar biasa) bagi pemeluknya. Lain halnya masyarakat barat yang menurut pandangan konservatif menganggap agama sebagai sebuah kebudayaan kuno yang diajarkan dan diwariskan dari generasi ke generasi. Pandangan ini yang membuat sebagian bangsa barat tak beragama. Akibatnya, bukan lagi menganggap agama sebagai hal yang penting tetapi lebih dari itu menjurus pada penghinaan atau pelecehan terhadap agama tertentu. Hal itu secara nyata dilakukan oleh Gaga dalam Judas yang membuat geram banyak negara terutama di Asia. And Judas is the demon I cling to, I cling to...But I’m still in love with Judas, baby. Tentu saja, lirik tersebut membuat umat Kristen marah. Belum lagi lagu Bad Romance yang dinilai melahirkan ajaran sesat karena liriknya dianggap mengandung konspirasi agama yang melibatkan setan. Belum lagi Alejandro yang membuat gerah karena syairnya melukiskan sosok Alejandro sebagai Tuhan dan Fernando sebagai Jesus yang membela dan melindungi manusia.

Jika melihat keadaan bangsa kita saat ini, alangkah baiknya jika kita lebih kritis dengan wacana tersebut. Sebuah putusan bijak apabila hal-hal yang bisa memicu degradasi moral dan budaya permisif dihilangkan termasuk konser Gaga. Pembatalan konser Gaga mungkin saja menyisakan kerugian dan penyesalan namun itu lebih baik daripada meraup keuntungan instan tetapi menuai kerugian jangka panjang di tengah gencarnya pemerintah menggalakkan pendidikan karakter bagi generasi muda. So, should Gaga plan to come to Indonesia again?

3 komentar:

  1. I don't think the reasons you pulled up are totally correct... you should open the site or sources about the original Balinese culture of clothing, especially how the ladies wear the clothe...

    BalasHapus
  2. eroticism behind the arts.

    BalasHapus
  3. it's growing and good process. i think your writing is improving, just add with more facts and evidence, it wouldbe a complete dish :) - like meal

    BalasHapus