Kamis, 12 April 2012

Gila

“Orang gila, Orang gila.”

Segerombolan anak kecil meneriakiku dengan kata itu. Orang gila yang benar saja? Apa mereka tak tahu bahwa sesungguhnya aku adalah calon artis terkenal yang bisa membanggakan desa mereka. Aku memutuskan keluar untuk lebih serius berlatih peran secara alami. Hanya itu saja.

“Orang gila, orang gila.”

Apa-apaan ini. Aku sudah tidak tahan dengan ucapan mereka. Aku sudah berada di puncak kemarahanku dan tinggal meletupkannya ke arah mereka, ke arah anak-anak kurang hajar itu.

Api kilatan marah muncul di mataku. Aku membuncahkan segala perasaanku pada mereka. Dan kulihat mereka takut. Hahaha. Aku menang. Mereka memang pengecut. Baru dilabrak sedikit saja sudah lari dan bersembunyi di balik pohon. Aku tahu mereka benar-benar sangat ketakutan.

Aku melanjutkan langkah kakiku. Enak saja mereka menggangu latihanku menjadi orang gila. Aku harus menghayati peran. Aku tersenyum kemudian berjalan dengan riang. Aku melihat anak-anak kecil mulai keluar dari balik pohon dan mengikutiku dengan langkah perlahan. Surprise. Mereka kaget sekali ketika aku membalikkan badan. Memang mereka pikir aku benar-benar gila dan bisa dibohongi begitu saja.

“Heh”

Aku baru menggertak dengan satu kata mereka kembali berlari menjauhiku. Aku menang. Aku tertawa lagi. Mereka takut sekali padaku. Mereka lari ke rumah orang tua masing-masing. Mereka pasti sedang menceritakan omelanku pada orang tua mereka masing-masing.

Dasar tukang wadul.

Aku merebahkan badanku sejenak pada sebuah batu besar di pinggir kali. Aku mengamati pantulan wajahku dari air sungai yang masih jernih itu. Menurutku wajahku cantik, bahkan paling cantik di desa ini dan cocok untuk menjadi artis terkenal seperti Meriam Belina ataupun Lidya Kandau. Aku memerciki wajahku dengan air itu dengan perasaan bahagia. Perasaan bahagia bahwa aku sebentar lagi jadi terkenal.

Aku berjalan kembali, meneruskan perjalananku yang sempat terhenti tadi. Kini gairahku untuk menjadi terkenal semakin menggila. Aku tak terlalu yakin akan bisa sampai di lokasi syuting kapan, tapi aku yakin aku pasti bisa.

Tanpa sengaja, aku melihat artis pujaanku lewat dengan BMW di depan mataku.

“Hei, aku akan jadi terkenal sepertimu!” aku memekik keras sekali.

Orang di sekitarku memandangku dengan perasaan jijik dan nanar. Mereka menggelengkan kepala kemudian pergi meninggalkanku begitu saja. Aku mendengar mereka berkata lirih “Dasar orang gila”. Memang siapa yang gila? Aku benar-benar heran pada mereka. Aku akan bersikap wajar kalau anak kecil memanggilku dengan sebutan orang gila. Tapi, mereka, orang-orang dewasa ini sudah bisa berpikir secara kritis dan analisis bahwa aku sedang berlatih peran sebagai orang gila. Aku yakin suatu saat jika aku benar-benar terkenal, mereka akan mengagung-agungkanku. Dasar orang kok sukanya menjilat ludah sendiri.

Aku berjalan terus berjalan. Aku tak tahu kerumunan macam apa yang sedang ada dihadapanku. Tampak olehku mereka terus berdecak kagum sambil terus berusaha mengambil gambar. Aku mencoba menerobos mereka. Mereka pergi menjauh. Mereka lari tunggang-langgang persis apa yang dilakukan anak-anak kecil di desaku. Namun, kali ini mereka berlari menjauh dan tak bersembunyi di balik pohon. Mereka langsung tancap gas kendaraan mereka. Aku memandang berkeliling.

Ya, tempat itu sedang ada proses syuting pembutan film. Aku sedang melihat bagaimana garangnya kemarahan sang sutradara karena pemainnya sama sekali tak berkualitas. Pemain itu sedang memerankan anak desa yang gila dan tak lebih. Goblok. Sungguh peran itu sangat mudah dimainkan. Kan gampang tinggal tertawa dan menangis saja.

Aku tertawa membahana. Mereka kaget dan benar-benar panik melihat kedatanganku, tapi justru tidak bagi sang sutradara. Dia melihat tajam ke arahku. Aku tak tahu tapi aku merasa senang. Aku berharap mereka akan menggantikan peran pemainnya denganku.

Aku terus tertawa bahkan lebih lantang dari tadi. Kemudian menangis sejadinya. Kembali aku tertawa dan menangis lagi. Aku tahu aku akan jadi artis. Ya, sutradara itu masih mengawasiku dengan sorotan tajam.

Ntah apa yang dia katakan pada pemainnya. Dia meminta untuk mengawasiku juga. Menatap dan menonton actingku. Hampir semua kru dan pemain menatap tajam ke arahku. Aku benar-benar merasa puas. Mereka menonton actingku dengan seksama.

Aku semakin asyik. Aku merasa tertantang. Aku yakin setelah ini mereka akan menawariku kontrak film atau sinetron.

Aku kembali menatap sang sutradara. Dia berkata sangat lirih kepada orang yang baru dimarahinya tadi. Namun, aku masih bisa menangkap sedikit pembicaraan mereka. Sutradara meminta dia untuk beracting sepertiku.

“Nah, kau lihat orang itu! kau harus seperti dia. Ini kesempatanmu. Ada oarng gila sungguhan di hadapanmu. Kau berlatihlah dari dia.”

Sang sutardara diam sejenak.

“Bagaimana kau sudah mengerti kan? Sudah sejak minggu lalu aku memintamu langsung survei sendiri melihat tingkah orang gila dan itu tak kau gubris sama sekali. Dan sekarang kau memang beruntung ada orang gila dan dia berhenti di depan kita untuk diamati tingkah lakunya.”

Pemain itu mengangguk. “Aku sudah siap”

“Stand bye, camera and ACTION”

Kurang hajar. Sopan sekali mereka mengataiku orang gila. Dasar sutradara tak tahu etika. Aku ini bukan orang gila. Pemain handal sepertiku harusnya yang main. Aku bisa memainkan peran sebagai orang gila dengan sepenuh hati.

Aku mengerutu sambil berjalan meninggalkan lokasi syuting. Awas kau ya, umpatku dalam hati. Aku yakin film kalian tak akan ditonton.

Aku berjalan tak tentu arah, tak melihat ke depan. Pandanganku masih menunduk menatap jalan aspal. Aku merasakan sesak. Mereka menganggapku orang gila. Tak ada satu pun yang menganggap aku waras. Aku tersentak kaget. Sebuah sedan bewarna merah metalik datang ke arahku dengan kecepatan tinggi menubruk tubuh lunglai ini. Seketika tubuhku ambruk. Terdengar bunyi bedebum yang begitu keras.

Seluruh jiwaku sepertinya melayang. Jiwa ini terlepas dari raganya. Aku melihat dengan pedih. Orang di sekelilingku membiarkan tubuhku di tepi jalan mengeluarkan darah. Mereka bahkan tak menutup tubuhku dengan sarung ataupun kardus. Mereka membiarkan jasadku dirubung lalat. Aku menjerit. Jiwaku menjerit. Pedih. Mereka tak peduli padaku, pada orang yang mereka anggap GILA.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar